Kamis, 27 Desember 2012

Etika Pelayanan Publik




Overview
Pelayanan publik merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan. Pelayanan publik yang baik, akan mendorong tumbuhnya kesejahteraan dan kepuasan masyarakat. Dalam ranah makro misalnya jika pelayanan dalam investasi baik maka akan mendorong tumbuhnya aktivitas-aktivitas ekonomi yang dapat menyerap tenaga kerja dan memunculkan usaha baru bagi masyarakat. Selain itu pelayanan publik juga merupakan cerminan dari kinerja birokrasinya. Jika pelayanan publiknya baik, logikanya berarti sistem dalam birokrasnya juga berjalan dengan baik. Namun, jika kualitas pelayanan publiknya rendah, maka logikanya sistem dalam birokrasinya juga tidak berjalan maksimal. 
Pelayanan publik di Indonesia diakui atau tidak memang masih memilliki banyak permasalahan. Menko Perekonomian Hatta Radjasa mengungkapkan ada tiga hal yang menyebabkan rendahnya daya saing Indonesia yaitu tingginya angka korupsi, rendahnya pelayanan publik dan kondisi ketersediaan infrastruktur yang tergolong masih minim (sumber: http://finance.detik.com/read/2012/09/13/162016/2017783/4/hatta-masalah-korupsi-pelayanan-publik-dan-infrastruktur-segera-perbaiki, diakses pada Kamis, 6 Desember 2012). Permasalahan dalam pelayanan publik salah satunya yaitu dalam konteks etika. Pelayanan pada birokrasi publik masih diwarnai dengan pelayanan yang kurang ramah, berbelit-belit, kurang transparan, dan syarat dengan praktik KKN. Berdasarkan laporan Transparency International, Indonesia menempati peringkat 118 dari 176 negara terkorup di dunia. Fenomena-fenomena ini semakin menunjukkan etika pelayanan publik di Indonesia masih rendah.  Padahal, seharusnya pelayanan publik harus mampu membuat masyarakat merasa di tolong dan terpenuhi kebutuhannya.
Fenomena-fenomena red tape tersebut muncul sebagai konsekuensi atas diskresi yang dimiliki oleh eksekutif. John A. Rohr (dalam Keban, 2008:166) menyatakan bahwa diskresi administrasi merupakan starting point bagi masalah moral atau etika dalam administrasi publik. Manajemen pelayanan publik tentunya harus berdasarkan etika administrator yang baik, jangan sampai diintervensi dengan kepentingan-kepentingan individu atau kelompok melainkan harus atas nama kepentingan publik. Jadi kajian etika sangat diperlukan dalam mewujudkan pelayanan publik yang berorientasi kesejahteraan masyarakat bukan golongan.

Definisi Etika Pelayanan Publik
Sebelum memahami arti dari etika pelayanan publik, tentunya harus dipahami dulu makna dari etika dan pelayanan publik. Etika berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti kebiasaan atau watak. Solomon (dalam Kumorotomo, 2007: 7) menjelaskan bahwa etika mencakup dua hal yaitu pertama, etika sebagai disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya dan kedua, nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. Pendapat Solomon menekankan bahwa etika merupakan cabang ilmu dan nilai-nilai untuk mengatur tingkah laku manusia. Sedangkan Bertens (dalam Keban, 2008:167) menyimpulkan bahwa etika meliputi (1) nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya, (2) kumpulan asas atau nilai moral yang dikenal dengan kode etik, (3) ilmu tentang baik dan buruk atau yang disebut dengan filsafat moral. Pada dasarnya pendapat Solomon dan Bertens mengemukakan dua substansi yaitu dari sudut keilmuan dan praktik. Sudut pandang keilmuan etika dipandang sebagai cabang ilmu, sedangkan dari sisi praksis etika merupakan nilai yang dijadikan pedoman untuk mengatur tingkah laku. Jadi, etika merupakan nilai-nilai yang dianut untuk mengatur tingkah laku manusia dalam ruang kehidupannya.
            Pelayanan publik berdasarkan Undang-Undang No. 25 tahun 2009 yaitu kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang diselenggarakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Jadi, pelayanan publik merupakan usaha pemenuhan kebutuhan masyarakat dari penyelenggara pelayanan publik.
            Setelah mengetahui makna etika dan pelayanan publik, maka selanjutnya adalah memaknai arti dari etika pelayanan publik. Menurut Denhardt (dalam Keban, 2008: 168) etika pelayanan public diartikan sebagai filsafat dan professional standart (kode etik), atau moral atau right rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrator publik. Definisi Denhardt tersebut menekankan etika pelayanan publik sebagai kode etik. Selain itu, Rohman, dkk (2010: 24) mendefinisikan bahwa etika pelayanan publik adalah suatu cara dalam melayani publik denagan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik. Definisi Rohman dkk tersebut menekankan penggunaan nilai-nilai luhr dalam pelayanan publik. Jadi, jelas bahwa etika pelayanan publik merupakan penggunaan nilai-nilai luhur oleh seorang administrator dalam memberikan pelayanan publik.

Pergeseran Etika Pelayanan Publik  
            Sesuai dengan perkembangan kondisi lingkungannya, etika selalu mengalami pergeseran. Apa yang dulu dianggap tidak baik, mungin sekarang dianggap baik, begitu sebaliknya. Misalnya pendekatan pembangunan top down munkin merupakan sesuatu yang dianggap baik, namun pada era sekarang pembangunan dengan pendekatan itu sudah tidak layak lagi. Pergeseran paradigm etika pelayanan publik disampaikan oleh Denhardt dalam bukunya yang berjudul The Ethics of Public Service pada tahun 1988. Adapun pergeseran paradigm etika pelayanan publik meliputi lima model yaitu :

a)                 Model I Tahun 1940an
Pada  Periode ini tokoh yang berpengaruh yaitu Wayne A.R. Leys. Pada tahun 1944 Leys memberikan saran kepada pemerintah Amerika Serikat tentang bagaimana menghasilkan keputusan kebijakan publik yang baik. Cara yang disampaikan oleh Leys yaitu dengan meninggalkan kebiasaan atau tradisi yang selama ini menjadi pegangan utama dalam menentukan suatu pembuatan keputusan, karena pemerintah terus berhadapan dengan masalah baru. Jadi, keputusan dianggap etis jika dalam pembuatan keputusan tidak hanya sekedar menerima atau tergantung pada kebiasaan atau tradisi yang ada.
b)                  Model II tahun 1950an
Pada periode ini tokohnya yaitu Hurst A. Anderson. Substansinya etika pelayanan publik akan baik jika mampu merefleksikan nilai-nilai dasar (Core Value) masyarakat  yang meliputi kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
c)                  Model III tahun 1960an
Robert T. Golembiewski mengungkapkan bahwa untuk menilai etika pelayanan publik  yang baik harus meninggalkan teori-teori organisasi tradisional dan berganti sesuai dengan masanya. Hal ini dikarenakan teori-teori organisasi akan terus berkembang sesuai dengan lingkungannya.
d)                 Model IV tahun 1970an
Paradigma ke IV ini mengatakan bahwa agar menjadi etis seorang administrator harus benar-benar memberi perhatian pada proses menguji dan mempertanyakan standar atau asumsi yang  melandasi pembuatan keputusan administratif. Standar-standar tersebut mungkin akan berubah dari waktu ke waktu dan isi dari standar tersebut harus merefleksikan komitmen terhadap nilai dasar dan administrator harus tahu bahwa ialah yang akan bertanggung jawab penuh terhadap standar-standar yang digunakan dan terhadap keputusan itu sendiri.
e)                  Model V 1970-1980an
Pada periode ini tokoh yang berkontribusi yaitu John Rohr dalam Ethics of Bureaucrats (1978) dan Terry L dengan bukunya The Responsible Administrator (1986). Kedua penulis itu mensyaratkan bahwa seorang administrator dikatakan etis apabila dalam proses pengambilan keputusan memiliki prinsip independensi. Tidak boleh tergantung dari pemikiran pihak-pihak yang lain.
f)                   Model VI
           Model VI ini pada dasarnya menggambarkan pemikiran Cooper bahwa antara administrator, organisasi, dan etika terdapat hubungan penting dimana etika para administrator justru sangat ditentukan oleh konteks organisasi dimana ia bekerja. Jadi, lingkungan organisasi sangat menentukan bahkan begitu menentukan sehingga seringkali para administrator hanya sedikit “otonomi berertika”.
            Mengacu pada pergeseran etika yang disampaikan oleh Denhardt tersebut,jelas bahwasanya etika sudah menjadi perhatian khusus dalam proses pelayanan atau administrasi publik.

Etika Pelayanan Publik Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2009
Dalam mewujudkan pelayanan publik yang berkualitas dan demi terpenuhinya hak serta kewajiban masyarakat dan penyelenggara pelayanan publik, maka pemerintah sebagai pemegang otoritas mengeluarkan UU No. 25 tentang Pelayanan Publik. Salah satu hal yang dibahas dalam undang-undang ini yaitu mengenai prinsip nilai yang menjadi acuan perilaku dalam memberikan pelayanan publik dari pemberi layanan kepada masyarakat. Prinsip nilai dibutuhkan sebagai upaya menyesuaikan tatanan nilai masyarakat yang selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan nilai ini tentunya akan mengubah standar harapan masyarakat dalam pemenuhan kebutuhannya. Oleh karena itu, diperlukan suatu acuan perilaku dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Adapun acuan perilaku dalam UU No. 25 tahun 2009 adalah sebagai berikut :
a)      Adil dan tidak diskriminatif
b)      Cermat
c)      Santun dan ramah
d)     Tegas, andal, dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut
e)      Profesional
f)       Tidak mempersulit
g)      Patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar
h)      Menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara
i)        Tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan dengan peraturan perundang-undangan
j)        Terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan
k)      Tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik
l)        Tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat.
m)    Tidak menyalahgunakan informasi, jabatan, dan/atau kewenangan yang dimiliki
n)      Sesuai dengan kepantasan
o)      Tidak menyimpang dari prosedur
Nilai-nilai tersebut memang sangat baik jika diterapkan dengan sungguh-sungguh sebagai acuan perilaku dalam memberikan pelayanan publik. Namun, dalam konteks empirisnya nilai-nilai diatas belum menjadi budaya organisasi. Walaupun Good Governance telah masuk dalam menjalankan mesin birokrasi, namun sejauh ini etika pelayanan publiknya belum berubah secara signifikan. Komitmen pemimpin dan anggota untuk menciptakan budaya organisasi yang baik adalah kunci awal untuk menciptakan etika pelayanan publik yang luhur.

Pendekatan dalam Etika Pelayanan Publik
            Prinsip dasar dalam etika pelayanan publik yaitu apa yang baik dan buruk  bukan benar dan salah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat sebagai penerima layanan publik. Kartasasmita (dalam Rohman, dkk: 2010: 25-27) mengungkapkan dua pendekatan dalam etika pelayanan publik yaitu :


a)         Pendekatan Teleologi
Pendekatan teleologi dalam etika berdasarkan apa yang baik dan buruk atau apa yang seharusnya dilakukan oleh pejabat publik. Pendekatan ini memiliki acuan utama yaitu nilai kemanfaatan yang diperoleh. Penilaian baik dan buruk didasarkan atas konsekuensi keputusan atau tindakan yang diambil. Dalam kaitannya dengan pelayanan publik pendekatan teleologis misalnya mengukur pencapaian sasaran kebijakan publik, seperti pertumbuhan ekonomi, pelayanan kesehatan, kesempatan pendidikan.
b)         Pendekatan Deontologi
Pendekatan ini lebih mendasarkan pada prinsip-prinsip moral yang harus ditegakkan, karena kebenaran yang ada dalam dirinya dan tidak terkait dengan akibat atau konsekuensi dari keputusan yang diambil. Pendekatan ini lebih melihat moral masing-masing individu, pelayanan publik akan beretika jika diisi oleh orang-orang yang mau dan mampu menegakkan prinsip-prinsip moral. Mewujudkan pendekatan ini dalam manajemen pelayanan publik tidaklah mudah. Namun, jika sudah melembaga dalam pejabat publik dan masyarakat, maka birokrasi akan dapat menjadi teladan.

Dilema Etika Pelayanan Publik
            Dalam mempelajari etika tentunya tidak semua orang memiliki cara pandang yang sama. Masing-masing individu akan memiliki ukuran-ukuran yang berbeda untuk melihat sesuatu itu baik atau buruk. Oleh karena itu, Denis Thompson (dalam Keban, 2008:177-180) menyampaikan beberapa isu dalam membahas etika yang dianggap dilematis dan kontroversi yaitu antara etika netralitas dan struktur serta antara etika absolut dan relatif. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut :
a.       Etika Netralitas dan Etika Struktur
Etika netralitas adalah menempatkan etika seseorang administrator sesuai dengan kebijakan organisasi dan tidak boleh menerapkan prinsip-prinsip etika yang dianutnya. Etika netralitas ini menuntut loyalitas yang tinggi bagi administrator dan tidak mengakui adanya otonomi etika. Tentunya etika netralitas ini sangat dilematis bagi seorang administrator. Jika administrator memahami bahwa ada kesalahan dalam pengambilan keputusan, seorang administrator tersebut akan bingung akan menyangkal keputusan itu atau akan secara buta mengikutinya. Sedangkan etika struktur yaitu etika yang menempatkan pimpinan organisasi sebagai penanggung jawab atas semua keputusan dan kebijakan, bukan individu aparatnya. Oleh karena itu, jika terjadi kesalahan sebagai akibat dari keputusan atau kebijakan yang telah diambil, maka pimpinan harus menanggung resikonya. Permasalahan yang kemudian muncul adalah kinerja organisasi akan berjalan labil, karena pimpinan akan sering diganti.
b.      Etika Absolut dan Etika Relatif
Etika absolut yaitu etika yang menempatkan norma-norma universal sebagai penuntun perilaku dan standar dalam pembuatan keputusan. Norma-norma ini biasanya bersumber dari ajaran agama atau filsafat hidup. Norma-norma tersebut perlu dipertahankan sebagai pertimbangan logis dalam pembuatan keputusan. Misalnya dalam pelayanan publik pemberi layanan maupun penerima layanan harus menjunjung kejujuran dan keadilan. Kejujuran dan keadilan merupakan nilai yang diajarkan dalam agama dan bersifat universal. Mereka yang memegang prinsip etika absolut disebut sebagai kaum absolutis.
Antithesis terhadap pandangan kaum absolutis datang dari kaum yang sering dinamakan kaum relativis. Kaum relativis memandang bahwa tidak ada universal moral, artinya etika itu relatif. Suatu norma dikatakan baik jika memiliki konsekuensi atau outcome yang baik. Pandangan ini menempatkan etika pada hasil nyata. Kaum relativis memandang bahwa nilai-nilai yang universal itu dianggap etis hanya dalam kondisi dan situasi tertentu. Misalnya berbohong itu secara universal tidak baik, namun berbohong akan dianggap etis jika membawa hasil yang baik. Oleh karena itu, kaum relativis percaya bahwa tidak ada nilaii yang bersifat universal jika tidak dikaitkan dengan konsekuensinya.
Birokrasi publik sebagai lembaga yang memiliki otoritas dalam memberikan layanan kepada publik harus memiliki administrator-administrator yang beretika baik. Pemerintah memiliki otoritas hukum, berhak mengatur setiap warganya melalui kebijakan-kebijakan publik yang dibuatnya. Oleh karena itu, konsekuensi moral harus dipegang demi mencapai pelayanan publik yang pro dengan kesejahteraan masyarakat.

Sumber Pustaka :
Keban, Yeremias T. 2008. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori, dan Isu. Yogyakarta: Gava Media
Rohman, Ahmad, dkk. 2010. Reformasi Pelayanan Publik. Malang: Averroes Press
Kumorotomo, Wahyudi. 2007. Etika Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Keban, Yeremias T. 2001. Etika Pelayanan Publik: Pergeseran Paradigma, Dilema dan Implikasinya bagi Pelayanan Publik di Indonesia. Majalah Perencanaan Pembangunan Edisi IV
Undang-undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar